Hal yang paling penting untuk
seorang siswa adalah nilai. Terkadang, banyak anak yang sekolah tidak untuk
menuntut ilmu. Melainkan hanya untuk mendapat nilai dan melupakan tujuan awal
untuk bersekolah yaitu menuntut ilmu. Karena yang ada di pikiran mereka adalah
nila yang bagus, bagus dan bagus. Sehingga mereka menghalalkan segala cara
untuk mendapatkannya. Lalu, mengapa semua itu bisa terjadi? Siapa yang
bersalah?
Pada kenyataannya, 90% murid melakukan hal tersebut. Mendapat nilai
setinggi mungkin dengan hal apapun. Apakah ini semua telah benar adanya?
Bagaimana dengan kejujuran? Sudahkah kejujuran itu tidak dihargai lagi? Inilah
yang menjadi pertanyaan saya. Mengapa guru hanya melihat anak yang bernilai
tinggi saja? Tanpa menoleh apakah mereka benar-benar bisa atau tidak? Coba
bayangkan, anak yang sebenarnya tidak tahu apapun, akan serba tahu ketika dia
mencontek, mengintip jawaban teman dan mendapat nilai sempurna. Lalu, dia akan
dianggap benar-benar pintar dan guru akan men-capnya menjadi anak yang pintar.
Sehingga, pada suatu waktu si anak dikirim ke sebuah lomba untuk mewakili
sekolah hanya karena si anak memiliki nilai yang bagus. Tidakkah ini semua
tidak adil?
Itu semua tidak lepas dari
kebudayaan yang telah mendarah-daging di Indonesia. Bagaimana tidak? Negara
kita telah terkenal dengan kebudayaan gotong – royongnya dan kerjasana untuk
sealing membantu. Bisa jadi, karena kita telah dicap sebagai yang sedemikian
itu, kita membawanya dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk kerjasama dalam
setiap ulangan dengan alas an membantu. Hal ini terkadang menjadi dilemma. Saat
kita diluar rumah, orang tua terkadang member pengarahan kepada kita untuk
saling tolong-menolong dalam hal kebajikan. Di lingkungan luar rumah, kita
terkadang menerapkannya dalam kondisi yang salah. Bagaiman tidak salah? Kita
menolong orang yang sedang kesusahan, memang iya. Tapi, kita menolong mereka
ketika mereka sedang kesusahan menjawab soal ulangan. Saat itu,kita menconteki
mereka karena kita kasihan, bahkan hanya untuk kata solidaritas.
Jadi, tidak heran untuk para kutu
buku yang tidak pandai bergaul tetap mempunyai teman banyak yang akan selalu
ada di sekitar kutu buku saat ulangan. Mereka akan mendekati si kutu buku untuk
mendapatkan contekan pada saat ulangan berlangsung. Lalu, saat ulangan selesai
ucapan terima kasih dan senyum seolah sahabat dilontarkan kepada si kutu buku
dengan harapan dia akan mencontekinya lagi.
Memang susah, saat kita tidak ingin
menconteki mereka, kita dikira jahat dan dimusuhi. Tapi, bila terus-terusan
terjadi hal demikian, bukan tidak mungkin anak tolol menjadi pimpinan untuk
orang yang notabene lebih cerdas daripadanya. Kalau hal tersebut telah terjadi,
siapa yang akan dirugikan?
Yah, memang beginilah Indonesia kita
tercinta. Bahkan, tidak hanya di Indonesia saja karena banyak negara lain yang
sudah mewabah hal seperti ini. Dan semua ini sebenarnya hanya berarti satu hal.
Mulai tidak tipisnya dan tidak pentingnya kejujuran untuk setiap orang. Karena
mereka hanya akan melakukan hal yang mereka anggap perlu untuk mendapatkan hal
yang mereka mau. Jika semua itu mulai bertambah parah, akankah ada kebenaran di
dunia ini? Karena ingatlah, kejujuran adalah awal dari setiap kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar