Saya bukan orang yang mampu menceritakan dengan baik kepada orang lain bagaimana kehidupan yang baik itu. Karena mereka harus menemukan arti kehidupan yang baik menurut mereka sendiri.
Tidak pernah sedikitpun aku meragukan keadilan Tuhan YME. Semuanya begitu adil meskipun terkadang arti keadilan itu berbeda. Banyak sekali kenyataan di sekitar saya yang tidak pernah saya perkirakan sebelumnya. Jalan pemikiran orang yang berbeda, sifat orang yang berbeda, raut wajah mereka yang selalu berubah-ubah setiap saat. Semuanya adalah keadilan. Memang, mungkin sekarang keadilan itu begitu tidak terlihat, tapi suatu saat keadilan tersebut akan muncul dengan sendirinya karena sudah menjadi suratan takdir.
Saya punya seorang bibi, umurnya 10 tahun lebih muda dari ayah saya. Dia, orang pertama yang membuka mata saya tentang manusia, terutama tentang masalah duniawi. Baginya, tidak mungkin hidup tanpa uang sedetikpun. Bahkan untuk memenuhi hasratnya tersebut, dia menghalalkan segala cara.
Sebanarnya dia bukanlah siapa-siapa di keluarga ayahku. Hanya seorang anak angkat dari bibi ayahku yang diangkat anak oleh nenekku. Namun, entah apa yang sudah dilaluinya selama hidup ini, dimata maupun di hatinya hanya ada uang-uang-dan uang. Sangat bertolak belakang dengan ayahku yang baik. Ini memang terdengar subjektif, tapi saat ini saya memposisikan diri saya di pihak netral dengan sudut pandang objektif.
Perbedaan sifat kedua saudara beda darah ini mungkin terletak bagaimana mereka tumbuh selama ini. Sedari kecil bibiku di rawat oleh ayah tiri ayahku. Selama dia bersama ayah tiri ayahku, bibiku mendapatkan semua yang dia mau, karena selama itu ayah tiri ayahku tidak mempunyai anak. Berbeda dengan nasib ayah, sedari kecil dia sudah ikut bersama eyang, ibu dari nenekku. Eyang memang sangat baik, apalagi selagi beliau hidup bersama kakung, beliau begitu disegani karena dulu kakung adalah seorang kepala desa. Sejak kecil, bibi dan ayahku tidak pernah merasakan kasih saying ibunya karena nenekku bekerja di luar kota dan baru pulang saat ayah memasuki dunia SMA.
Saat aku mendengar cerita dari nenek, ibu, atau ayahku sendiri. Hidup ayah benar-benar luar biasa berliku, rumit, dan menyebalkan untuk kudengarkan. Tapi kenapa saat aku mendengar cerita bibiku, tidak ada masa-masa sulit dalam hidupnya. Setelah kematian ayah tiri ayah, nenek dan bibiku kembali ke rumah eyang. Selama itu, keluarga kecil itu hidup bersama. Setelah selang beberapa tahun, gantian kakung yang menyusul kakek tiriku. Kedewasaan selalu dituntut dari ayahku.
Tapi itu semua sedikit cerita lama dari keluarga ayahku. Sekarang, aku ingin menceritakan tentang bibiku. Seorang yang sangat sayang kepadaku sebagai seorang keponakannya. Tapi siapa yang menyangka, semakin lama aku tumbuh besar, semakin lama aku bertambah besar, bertambah umur. Aku mengerti kenapa selama ini sering sekali terjadi keributan di rumah eyang. Hampir setiap hati ada pertengkaran. Entah itu benar atau salah, sewaktu kecil karena aku merasa dekat sekali dengan bibi, aku selalu pergi kearah bibi setelah pertengkaran selesai. Tapi semakin aku tumbuh besar, aku melihat…
Bagaimana seorang manusia bertindak benar atau salah. Semakin hari aku semakin menjauh dari bibiku. Meskipun terkadang aku tidak yakin ini benar atau tidak, tapi semakin hari semakin terlihat bagaimana bentuk setiap manusia itu di depan mataku. Sampai pada suatu titik kepuncakanku, dimana aku mendengar sendiri bibiku menghujat ayah dan ibuku, menggunjing tentang sikap ayah dan ibu di depan nenekku yang katanya selalu ingin berusaha menguasai harta nenek. Itu adalah titik awal aku menyadari kebenaran, saat itu aku baru kelas 4 SD. Seketika aku langsung melemparkan buah mangga yang pemberian nenek kearah bibiku. Menjelaskan bahwa sebenarnya yang jahat itu bibiku, bahwa yang selama ini yang selalu menginginkan uang nenek adalah bibiku. Bahwa selama ini yang gila dengan harta adalah bibiku sedangkan ayahku hanya diam menjalani hidupnya sendiri dengan bahagia tanpa harus mengemis uang kepada orang tuanya.
Mulai detik itu, semakin hari bukan semakin waras. Justru semakin menggila. Hujatan mulai kemana-mana. Ayah dan ibu selalu hanya diam, saat itu aku ingin sekali melabraknya, tapi selalu dicegah oleh orang tuaku. Satu hal bermakna dari kejadian itu yang sampai sekarang sangat aku hargai, yaitu nilai Kesabaran. Dimana ada saatnya kita bicara, ada saatnya kita diam. Diam tidak selalu berarti kalah.
Sampai sekarang, sikap bibiku tidak berubah. Bahkan, demi kebahagiannya sendiri, dia pergi dari rumah dengan membawa semua harta peniggalan kakek tiriku yang seharusnya itu menjadi hak nenekku. Audzubillah himinzalik…
Dalam hal ini, aku belum bisa memberitahunya bagaimana kehidupan yang baik itu. Karena baik untukku belum berarti baik untuknya. Karena sampai detik ini, bibiku sendiri sedang bahagia dengan jalan yang menurutnya adalah kehidupan baiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar