Pages

Minggu, 11 Januari 2015

Review Film : Jamilah dan Sang Presiden (2009)





Judul         : Jamilah dan Sang Presiden
Genre        : Drama
Produser   : Ratna Sarumpaet
Tahun Rilis : 2009
Pemain        : Atika Hasiholan, Dwi Sasono, Fauzi Baadilah, Surya Saputra, Adjie Pangestu, Christin Hakim, Eva Celia, Jajang C. Noer, Ria Irawan
Adaptasi Novel : Jamilah dan Sang Presiden 
Durasi        : 90 menit



Dengan betis sedikit saja terbuka, maka moral tidak akan ada tempat... Tidak ada satu orangpun di muka bumi ini ingin menjadi pelacur Bu Ria...

Tulisan di atas adalah sedikit cuplikan dari film berjudul 'Jamilah dan Sang Presiden'. Dalam film ini menceritakan kisah tentang seorang pelacur bernama Jamilah yang harus menerima sanksi atas kejahatan yang dia lakukan. Kejahatan seorang pekerja seks komersial dalam membunuh seorang menteri di Indonesia. Intinya begitu, tapi dalam film ini yang membuat hati saya bergetar adalah bagaimana sebenarnya kisah dari pelacur tersebut hingga bisa seperti dia saat ini (diperankan Atika).

Dalam film ini bisa saya katakan bahwa Atika yang berperan sebagai Jamilah sukses besar dalam memerankan perannya sebagai seorang pelacur dengan berlatar belakang pada penjualan anak di bawah umu/ trafficking. Jujur, saya itu bukan termasuk orang yang mudah terbawa suasana, ngga melankolis lah, jadi saya jarang sekali terharu karena sebuah film, sangat sakral bagi saya menangis karena sebuah film. Tapi, ketika saya melihat film ini, Jamilah dan Sang Presiden, hati saya terkoyak, terhentak dan berfikir, ini rupa kenyataan dunia saat ini. Tidak ada akhir yang bahagia bagi setiap pelacur, tapi juga tidak ada pilihan yang lebih baik dari sekedar pelacur. Mereka yang kaya dan mereka yang miskin bagaikan dua dunia yang berbeda, neraka dan surga. Emosi ini yang saya rasakan selama melihat film ini. Apalagi, dua kalimat diatas, sangat terngiang di dalam pikiran saya, pemilihan katanya sangat gelap dan dalam tapi juga mengena.

Kisah ini diawali dari penyerahan diri Jamilah (diperankan Atika) kepada kepolisian di Indonesia karena telah membunuh salah satu Menteri Negera. Selama kasus ini begulir, ceita demi cerita dibuka Jamilah mengenai kehidupannya. Dimuali dari seorang gadis desa yang terpaksa menjual diri karena kehendak bapaknya, Jamilah dibawa ibunya menuju sebuah stasiun. Dimana saat itu, Jamilah disuruh ibunya untuk pergi menemui Ibu Wardiman di Jakarta, ibunya percaya dengan Ibu Wardiman, kehidupan Jamilah akan lebih baik. Tapi, ketika sampai di Jakarta, tinggal bersama ibu Wardiman, suami serta anaknya, penderitaan Jamilah belum berakhir. Setiap malam gadis itu dengan paksaan menuruti hawa nafsu dari suami dan anak lelaki ibu Wardiman. Dihina sebagai pelacur, pengungkitan balas jasa, dikatakan munafik, muncul dari Ibu Wardiman yang menyebabkan hidup hati Jamilah semakin sempit. Pembunuhan terhadap dua lelaki dari orang yang membiayai sekolah serta hidup Jamilah di Jakarta terjadi. Membuatnya harus hidup menggelandang di jalanan. Kehidupan jalanan Jakarta yang keras menuntut Jamilah untuk terus berlari mencari tempat yang terbaik.

Tertangkap ketika razia, bertemu dengan pelacur, bekerja di kantor pengacara, menjadi aktivis, hingga menjadi pelacur menjadi profesi Jamilah hanya sekedar menuruti keinginannya menemui adiknya, Fatimah. Dia tidak ingin membuat hidup Fatimah berantakan seperti miliknya. Baginya, adiknya adalah makhluk suci yang tidak tahu apa-apa dan harapan terbesar dalam hidupnya. Ketika mengetauhi adiknya telah meninggal di Kalimantan, tepatnya di tempat pelacuran yang besar, dengan segala konspirasi yang ada tempat prostitusi itu hanya berakhir pada berita kematian sang mucikari. Harapan Jamilah muncul ketika dia melayani salah satu tokoh penting masyarakat seorang menteri bernama Nurdin (Adjie Pangestu). Menteri yang memberinya kebahagiaan laksana Ratu, membuat Jamilah terbuai dan mengesampingkan rasa kritisnya terhadap segala kenyataan politik di tanah air. Hingga akhirnya, menteri tersebut meninggalkan Jamilah begitu saja dan membuat amarahnya kembali muncul. Rasa perih atas semua kenyataan hidup yang mulai menghilang dengan kehadiran Nurdin kini kembali menjadi cambukan. Campaan, hinaan, dan tekanan menyelimuti kehidupannya kemudian. Apalah arti seorang pekerja seks komersil? Ibarat sekali menjadi racun, tidak akan pernah menjadi obat, itulah yang dirasakan Jamilah.

Hingga pada suatu malam, Nurdin muncul karena merasa terancam dengan kehadiran Jamilah. Baginya, mengakhiri kehidupan seorang pekerja seks itu lebih baik daripada melihatnya menghantui kehidupan sang menteri. Tapi, setiap niat yang buruk akan menghasilkan buah yang buruk. Niat jahat membunuh Jamilah, justru terbalik secara tidak sengaja, Jamilah-lah pembunuhnya. Ketidaksengajaan ini tak dapat dilihat dan didengar oleh semua lapisan masyarakat, termasuk Pemerintahan. Karena bagi semua orang, cukup dengan melihat siapa yang memegang pisau, dialah pembunuhnya.

Akhirnya, pemegang pisau harus meregang nyawa bersama semua rahasia ketidakadilan hidup serta seruan kebenaran yang telah ditegakkan. Pencitraan tertelan mentah-mentah terhadap semua kebobokran negeri, itu kesan yang tertinggal dari film ini. Mengatasnamakan kemanusiaan? Mungkin sekarang saya berani bilang, tidak ada manusia yang mampu memanusiakan orang lain, melainkan dirinya sendiri. Segencar-gencarnya para ulama dan tokoh masyarakat tanah air, tidak akan berani bersenggolan dengan setan-setan di masyarakat. Hidup aman, tidak ada tekanan, makanan cukup, ibadah cukup, cukup untuk semuanya. Inilah realita kehidupan saat ini! Tidak heran, jika suatu saat nanti, ada saat dimana semua orang meninggalkan semua ajaran kemanusiaan dan beralih kepada hukum alam, hanya yang kuat yang akan bertahan! Kita semua, sudah berada di era tersebut!

Bagi saya, dalam film ini menggambarkan sebuah nasib rakyat termarginal yang terlupakan dengan  disimbolkan sebagai pelacur dengan latar belakang sangat kelam, yakni Jamilah dan gambaran pemerintahan kita saat ini dimana penuh dengan kata royal dan makmur tanpa mampu melihat ke bawah, yakni Sang Presiden, sebagai simbol kekuasaan. Jadi, film ini benar-benar menggambarkan negara ini saat hingga kini, yang miskin tetap menjadi miskin sedangkan yang kata tetap jadi kaya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar