Kamu tertawa, bukan berarti kamu tak terluka. Kamu menangis bukan
berarti kamu sedih. Kamu terseyum bukan berarti kamu senang. Ketika mata ini
mampu membedakan setiap makna dari setiap perbuatan, kamu akan melihat
bagaimana kamu di mata mereka.
Entah ini karena aku yang jahat
atau memang benar. Mungkin selama masa ini aku alami, tidak terasa hal-hal yang
menunjukan keberatan teman-teman terhadap diri ini. Entah kenapa, belakangan
ini aku jadi sering merasa bahwa selama ini tatapan mereka terhadapku berbeda.
Mereka tersenyum saat aku membuat guyonan, tapi itu seperti bukan senyum
kesenangan. Saat aku tertawa karena kesusahan, mereka tidak menatapku namun
mereka memandangku.
Bebarapa hari dan hari yang lalu,
tepatnya setelah kematian ayahku. Aku mulai belajar tentang kedatangan
seseorang tanpa melihat mereka. Sebenarnya tidak belajar, mungkin ini lebih
kuksebut dengan “aku baru menyadarinya”. Ini dimulai saat aku menatap cermin di
rumahku. Saat itu rumahku dalam keadaan kosong. Saat aku mengaca, aku merasakan
kehangatan yang berbeda di sebelah kanan badanku. Akupun penasaran dan akhirnya
terfokus pada rasa hangat itu. Lama-kelamaan aku merasa rasa hangat itu
berbentuk semakin besar menjadi tubuh manusia. Yah, benar saja, ada tamu datang
ke rumah. Hal ini semakin berulang, aku bisa merasakan kehadiran ibuku dari dalam
rumah. Mungkin dengan tersadarnya aku akan hal ini, saat ibuku berbohong
kepadaku, aku tiba-tiba bisa menebak dia berbohong, dan benar saja. Saat aku
melihat temanku terdiam, saat aku tanya kenapa dia diam. Tiba-tiba aku
merasakan kesedihan dimatanya serasa merasuk ke badan. Saat salah seorang
temanku yang lain menatapku, aku tidak tahu mengapa, aku merasa tatapannya
ingin tertawa kepadaku. Aku bingung, lama-kelamaan aku merasa ini bukan analisa
melainkan hanya perasaan saja.
Yah, yang ingin aku ungkapkan
hari ini bukan mengenai masalah tersebut. Hanya kegalauan yang aku alami saat
ini. Ini terjadi tadi pagi. Saat pelajaran dimulai kami menjalani pelajaran
seperti biasa. Semuanya tampak normal, ceria, santai. Namun semuanya memang
telah aku rusak. Tidak ada maksudku untuk merusak suasana enak seperti itu,
tapi aku juga tidak mau saat Fisika nanti aku di hukum karena tidak
mengumpulkan tugas Fisika. Ternyata, aksiku mengerjakan tugas lain diketauhi oleh
guru pelajaran saat itu, diambilah tugasku yang sedang aku kerjakan. Yah, dan
parahnya tugas milik kedua temaku juga diambilnya. Padahal mereka berdua tidak
mengerjakan tugas itu, hanya menaruhnya di balik buku mereka.
Yah, semuanya jadi salahku. Aku
akui aku bersalah, tapi tau tidak apa yang menjadi perdebatan di hatiku? Saat
aku mencoba meminta maaf kepada guru yang mengambil tugasku tadi, beliau
berkata sambil memandangku “Aku memaafkan tapi aku tidak melupakan”. Sayangnya,
aku bukan anak yang pintar mengungkapkan perasaan dan berekspresi. Jadi, saat
guruku mengatakan hal tersebut, aku hanya berkata “Oh iya bu, terima kasih”.
Dan berlalu begitu saja. Karena menurutku tugas itu bisa aku buat lagi. Tapi
aku tahu dari pandangan yang dilontarkan guruku tadi, itu pandangan “menyumpah”
bukan pandangan memaafkan. Aku merasakan memaafkan dalam setiap katanya, tapi
di dalam matanya lebih dalam aku melihat sesuatu lebih hebat, dendam. Mungkin
aku tahu apa yang akan dilakukan guru itu.
Yah, dia akan bercerita hal ini
kepada guru yang lain. Itu pasti dia lakukan, bukan hanya itu saja. Dia akan
membesar-besarkannya. Karena dia adalah orang yang hanya memandang lurus ke
satu arah. Dia seperti kuda yang hanya
bisa melihat apa yang ada di depannya. Apa yang kelihatannya benar, apa yang
ada. Hanya 1 fikiran, dan acuh terhadap keadaan. Baginya, mengatakan hal itu
akan membuatku menyesal. Yah, memang aku menyesal tapi tidak akan membuatku
berhenti menggapai impian “menjadi yang terbaik di kelas”.
Setelah itu, temanku menangis
karena hal ini. Aku jelas merasa bersalah atas semua ini. Tapi aku memang tidak
mampu berbuat apapun. Saat yang sama, aku melihat seseorang menatapku.
Tatapannya mengatakan “rasakan” kepadaku. Ada yang lain pula, seperti
mengisyarakatkan “saat ini kau masih bisa tertawa?”. Tapi aku melihat mata
temanku yang menangis seperti mengatakan “aku berusaha untuk tidak menyalahkan
siapapun”. Terima kasih atas anugerahnya. Apapun yang aku rasakan semakin peka.
Aku sekarang jadi ingin kepakaan ini menjadi semakin kuat, kuat, dan kuat. Aku
inginkan hal lebih dalam hidup ini, tidak hanya cukup.
By : Dolphin_skygirl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar